Suruh saja aku baca puisi di depan orang. Membaca puisi itu mudah kok, siapa bilang membaca puisi itu susah. Gampang kok, tapi aku maunya membaca puisinya di depan anak-anak saja. Selebihnya, aku malu
Untung saja, yang melihat aku membaca sebuah puisi itu hanya anak-anak, kalau orang dewasa. .. Ah, apa jadinya tuh, mungkin suaraku tidak terdengar Sekolah menunjuk beberapa guru untuk ikut serta dalam perlombaan membaca puisi oleh guru. Jelas saja aku langsung menolaknya. Aku katakan,” Kalau lomba menulis aku mau, puisi….Sepertinya itu, aku tidak mau deh. ” Teman, yang mendengar perkataanku bilang,” Ya, udah, nanti ngomong langsung aja kepada Kepala sekolah,” dengan tersenyum karena melihat komentarku yang spontan. Oh, Teman…. Aku yakin, aku sebenarnya bisa hanya saja aku tidak mau ikut (walaupun berbagai alasan diberikan).
Pagi ini materinya adalah puisi. Dibanding kelas atas, materi kelas dua lebih ringan dan tentu saja aku senang mendapatkan kondisi yang seperti itu. Kutanyakan kepada anak,” Siapa yang hapal satu puisi?” Beberapa anak dengan wajah riang langsung mengangkat tangan dan berkata,” Bunda, aku hapal. Judulnya ‘Ibu’” Kupanggil saja anak itu ke depan kelas, Aris namanya. Aris itu adiknya Angga, siswa di kelasku dulu. Dengan kupeluk Aris dari belakang, Aris mulai membaca puisi. Sederhana sekali isi puisi itu. Seperti ini isinya :
Ibu
Kau mendidikku
Membesarkanku
Hanya 4 baris, tapi maknanya begitu indah. Ibu.
Aku tanya kembali, ” Ketika kalian mendengarkan puisi ini, apa yang kalian rasakan?”
“Sedih, Bunda!” Teriak anak laki-laki dari belakang.
” Ya, kalau kita menghayati puisi itu, kita bisa menangis lho.” Aku coba buat puisi dengan rasa ‘sedih’ setelah itu aku membuat puisi dengan rasa yang berbeda, gembira. Ah, lagi-lagi kucing sebagai objek puisiku.
Lincah
Berlari kecil
Bermain ekor induknya
Suaranya mengeong
Ruangnya hidup
Kecil, abu-abu putih
Kucing kesayanganku
Kukejar ia, dia berlari
Kukejar lagi, dia lari lagi
Duh, lucunya kucingku
Hah, pengalaman bersama kucing di rumah ternyata membawaku menikmati setiap mengajar di kelas rendah ini. Semua pengalaman itu mengantarkanku untuk terus mengapresiasikan semua yang kumiliki. Bahagia rasanya ketika seorang anak kelas atas (yang pernah kuajari dulu) berkata,” Bunda, kata adik kucing Bunda meninggalnya.” Mereka ingat dengan apa yang kusampaikan, Teman. Bahagianya ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Silakan berikan pendapatmu disini ya ^^